tata cara penyegelan bea cukai

Tata Cara Penyegelan Bea dan Cukai

Tata cara penyegelan bea dan cukai diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor P-26/BC/2010. Penyegelan adalah tindakan untuk mengunci, menyegel, atau melekatkan tanda pengaman yang diperlukan guna mengamankan hak-hak negara. Penyegelan harus sesuai kewenangan, dilakukan dengan surat perintah dan pelaksanaannya dibuatkan berita acara atau pencatatan.


Wewenang Penyegelan

Petugas bea dan cukai berwenang melakukan penyegelan. Penyegelan di bidang kepabeanan dapat dilakukan terhadap:

  1. barang impor yang belum diselesaikan kewajiban pabeannya;
  2. barang ekspor atau barang lain yang harus diawasi;
  3. barang maupun sarana pengangkut yang ditegah;
  4. bangunan atau tempat lain yang di dalamnya ditimbun barang impor maupun ekspor yang ditegah; dan
  5. tempat atau ruangan penyimpanan dokumen yang berkaitan dengan kegiatan kepabeanan.

Sedang di bidang cukai, petugas bea dan cukai berwenang melakukan penyegelan terhadap:

  1. bagian dari pabrik atau tempat penyimpanan;
  2. tempat lain yang di dalamnya terdapat barang kena cukai atau barang lain yang terkait dengan barang kena cukai;
  3. bagian tempat usaha importir barang kena cukai, tempat usaha penyalur, atau tempat penjualan eceran;
  4. sarana pengangkut yang di dalamnya terdapat barang kena cukai atau barang lain yang terkait dengan barang kena cukai;
  5. barang kena cukai atau barang lain yang terkait dengan barang kena cukai; dan/atau
  6. bangunan atau ruangan tempat untuk menyimpan laporan keuangan, buku, catatan dan dokumen yang menjadi bukti dasar pembukuan, dan dokumen lain yang berkaitan dengan kegiatan usaha, termasuk sarana atau media penyimpan data elektronik, pita cukai atau tanda pelunasan cukai lainnya, sediaan barang, atau barang yang dapat memberi petunjuk tentang kegiatan usaha atau tempat lain yang dianggap penting.

Bea dan cukai membedakan antara segel dan tanda pengaman. Namun, pelekatan keduanya tetap disebut sebagai penyegelan. Untuk lebih jelasnya silakan baca posting: Segel Bea dan Cukai.

Penyegelan dilakukan dalam rangka penindakan, penyidikan, audit kepabeanan dan cukai, atau penyitaan dalam rangka penagihan pajak dengan surat paksa. Sedang pelekatan tanda pengaman dilakukan dalam rangka pengamanan terhadap barang yang belum diselesaikan kewajiban kepabeanan dan cukainya atau barang lain yang harus diawasi.

Baca Selengkapnya

Segel Bea Cukai

Segel Bea dan Cukai

Segel bea dan cukai ada beberapa jenis. Segel dapat terbuat dari kertas, plastik, logam, lak atau bahan lainnya. Bentuk dari segel dapat berupa lembaran, pita, kunci, kancing atau bentuk lainnya. Segel bahkan dimungkinkan untuk dilengkapi dengan perangkat elektronik.


Perbedaan Segel dan Tanda Pengaman

Selain segel, dalam terminologi kepabeanan dikenal juga adanya tanda pengaman. Bea cukai membedakan antara segel dan tanda pengaman, namun pelekatan keduanya dalam peraturan tetap disebut sebagai penyegelan.

P-26/BC/2010: Penyegelan adalah tindakan untuk mengunci, menyegel, dan/atau melekatkan tanda pengaman yang diperlukan guna mengamankan hak-hak negara.

Pelekatan segel dilakukan dalam rangka penindakan, penyidikan, audit kepabeanan dan cukai, atau penyitaan dalam rangka penagihan pajak dengan surat paksa. Sedang pelekatan tanda pengaman dilakukan dalam rangka pengamanan terhadap barang yang belum diselesaikan kewajiban kepabeanan dan cukainya atau barang lain yang harus diawasi.

Segel secara umum berwarna merah, sedang tanda pengaman berwarna putih. Barang yang disegel pada dasarnya tidak boleh bergerak atau dipindahkan tanpa sepengetahuan dan seizin petugas. Barang yang dilekati tanda pengaman boleh dipindahkan sesuai prosedur yang berlaku dan proses bisnis yang berjalan.


Jenis Segel dan Tanda Pengaman Bea dan Cukai

Segel atau tanda pengaman bea cukai terdiri dari:

  1. Segel atau Tanda Pengaman Kertas;
  2. Segel atau Tanda Pengaman Pita;
  3. Segel atau Tanda Pengaman Kancing;
  4. Segel atau Tanda Pengaman Kunci;
  5. Segel atau Tanda Pengaman Timah;
  6. Segel atau Tanda Pengaman Lak;
  7. Segel atau Tanda Pengaman Elektronik; dan
  8. Segel atau Tanda Pengaman Barcode.

Baca Selengkapnya

Pengecualian NPPBKC

Pengecualian NPPBKC

Tidak semua pengusaha barang kena cukai wajib memiliki Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai (NPPBKC). Pengecualian kewajiban memiliki NPPBKC diberikan kepada pengusaha barang kena cukai dalam hal dan kondisi tertentu. Secara lengkap, kewajiban memiliki NPPBKC dikecualikan terhadap:

  1. Tembakau Iris Tradisional
  2. MMEA Tradisional
  3. EA Tradisonal
  4. Importir BKC Pembebasan
  5. Tempat Penjualan Eceran EA dan MMEA

Tembakau Iris Tradisional

Orang yang membuat tembakau iris yang dibuat dari tembakau hasil tanaman di Indonesia yang tidak dikemas untuk penjualan eceran, atau dikemas untuk penjualan eceran dengan bahan pengemas tradisional yang lazim dipergunakan, dikecualikan dari kewajiban memiliki NPPBKC. Pengecualian ini berlaku dengan syarat:

  1. dalam pembuatannya tidak dicampur atau ditambah dengan tembakau yang berasal dari luar negeri;
  2. dalam pembuatannya tidak dicampur atau ditambah bahan lain yang lazim dipergunakan dalam pembuatan hasil tembakau; atau
  3. pada pengemas atau tembakau irisnya tidak dibubuhi, dilekati atau dicantumkan cap, merek dagang, etiket, atau yang sejenis dengan itu.

MMEA Tradisional

Orang yang membuat minuman mengandung etil alkohol yang diperoleh dari hasil peragian atau penyulingan juga dikecualikan dari kewajiban memiliki NPPBKC. Ketentuan ini berlaku dengan syarat:

  1. dibuat oleh rakyat di Indonesia;
  2. pembuatannya dilakukan secara sederhana, dengan menggunakan peralatan sederhana yang lazim digunakan oleh rakyat Indonesia;
  3. produksinya tidak melebihi 25 (dua puluh lima) liter per hari;
  4. semata-mata untuk mata pencaharian; dan
  5. tidak dikemas dalam kemasan untuk penjualan eceran.

Baca Selengkapnya

Barang Kena Cukai (BKC)

Barang Kena Cukai

Barang Kena Cukai (BKC) terdiri dari:

  1. Etil Alkohol atau Etanol;
  2. Minuman Mengandung Etil Alkohol; dan
  3. Hasil Tembakau

Cukai adalah adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang yang mempunyai sifat atau karakteristik yang ditetapkan dalam undang-undang cukai. Undang-undang yang dimaksud adalah undang-undang nomor 11 tahun 1995 yang sudah diubah dengan undang-undang nomor 39 tahun 2007. Karakteristik yang dimaksud dalam undang-undang cukai antara lain adalah:

  1. konsumsinya perlu dikendalikan;
  2. peredarannya perlu diawasi;
  3. pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup; atau
  4. pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan.

Pengusaha barang kena cukai, atau biasa disebut reksan cukai, diawasi oleh pemerintah. Pengawasan dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC).


Etil Alkohol atau Etanol

Etil Alkohol, atau biasa disebut juga Etanol, Alkohol Murni, Alkohol Absolut atau Alkohol (saja), adalah cairan yang mudah menguap, mudah terbakar, tidak berwarna, dengan rumus kimia C2H5OH. Etil alkohol atau Etanol biasa dihasilkan dengan cara fermentasi gula yang dikemudian didestilasi. Pemurnian etanol yang mengandung air dengan cara penyulingan biasa hanya mampu menghasilkan etanol dengan kemurnian 96%.

Etil Alkohol biasa digunakan sebagai bahan dalam pembuatan minuman beralkohol. Etil alkohol juga biasa digunakan sebagai spriritus bakar, bahan baku obat-obatan, bahan pencampur cat dan cairan disinfectant.

Etil Alkohol dikenai cukai dengan tarif Rp. 20.000 per liter. Pelunasan cukai atas Etil Alkohol dilakukan dengan cara pembayaran, tidak dengan pelekatan pita cukai sebagaimana barang kena cukai lainnya.

Etil alkohol yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan BKC lainnya tidak dipungut cukai. Sedang yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan barang hasil akhir yang bukan Barang Kena Cukai dapat dimintakan pembebasan cukai. Baca Selengkapnya

Tim Audit Bea Cukai

Tim Audit Bea dan Cukai

Tim audit bea dan cukai terdiri dari:

  1. Pengawas Mutu Audit (PMA);
  2. Pengendali Teknis Audit (PTA);
  3. Ketua Tim Audit; dan
  4. Auditor.

Susunan ini adalah susunan sesuai jabatan dan kepangkatan. Makin tinggi posisinya makin tinggi pula jabatannya. Tim Audit bea dan cukai idealnya berjumlah 5 (lima) orang. Namun, jumlah ini tidak dapat dijadikan patokan. Besaran data audit dan kompleksitas program audit akan menentukan jumlah auditor yang diturunkan.

Susunan tim audit dapat ditambah seorang atau lebih petugas bea cukai pelaksana. Anggota pelaksana ini belum mendapatkan sertifikat sebagai auditor dan tidak selalu ada di tim audit. Anggota pelaksana biasa diturunkan dalam rangka pemantapan guna proses regenerasi.

Susunan tim audit juga dapat ditambah seorang atau pejabat dari instansi lain di luar dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC). Pejabat instansi lain ini dapat ditempatkan pada posisi sebagai Auditor, Ketua Tim, PTA maupun PMA. Dalam hal mereka belum mempunyai sertifikasi yang dibutuhkan, Direktur Audit dapat memberikannya selama yang bersangkutan dianggap mampu.

Jabatan dalam tim audit harus didukung dengan sertifikasi untuk masing-masing jabatan. Sertifikat sebagai auditor, ketua tim, PTA dan PMA diterbitkan oleh Direktur Audit. Sertifikat diterbitkan jika seseorang dianggap mampu dan telah memenuhi persyaratan untuk masing-masing jabatan.


1. Pengawas Mutu Audit (PMA)

Pengawas Mutu Audit (PMA) adalah pejabat tertinggi dalam susunan tim audit. Dalam satu tim audit hanya ada satu PMA. PMA dapat merangkap jabatan. Seorang PMA dapat menerima lebih dari satu surat tugas dalam satu waktu.

PMA merupakan pejabat setingkat Eselon 3. Untuk menjadi seorang PMA, pejabat bea cukai terlebih dahulu harus memiliki sertifikat sebagai Pengendali Teknis Audit (PTA) dan memenuhi persyaratan sebagai berikut:

  1. telah menyelesaikan paling sedikit 150 (seratus lima puluh) kali penugasan audit;
  2. telah mencapai 6 (enam) tahun masa penugasan audit sebagai PTA; atau
  3. memiliki pangkat minimal Pembina/IV.a yang telah mencapai 2 (dua) tahun masa penugasan audit atau telah menyelesaikan paling sedikit 20 (dua puluh) kali penugasan audit.

Baca Selengkapnya