Agen Fasilitas Kepabeanan

Agen Fasilitas Kepabeanan

Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) telah membentuk Agen Fasilitas Kepabeanan untuk mendukung tugasnya sebagai Trade Facilitator dan Industrial Assistance. Fasilitas Kepabeanan yang dimaksud adalah Tempat Penimbunan Berikat (TPB) dan Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE). Para agen fasilitas ini ditunjuk dari pegawai di lingkungan kantor bea dan cukai yang jabatannya berhubungan dengan pelayanan dan fasilitas kepabeanan. Selain Agen Fasilitas TPB dan KITE, telah ditunjuk juga Agen Fasilitas Khusus dan Koordinator Agen Fasilitas.


AGEN FASILITAS KEPABEANAN

Fasilitas TPB dan KITE adalah suatu bentuk insentif yang diberikan oleh pemerintah di bidang kepabeanan. Para agen fasilitas diharapkan mampu memberikan informasi yang lengkap mengenai fasilitas fiskal di bidang kepabeanan kepada para pengguna jasa kepabeanan. Penyampaian informasi yang baik diharapkan mampu mendorong penggunaan fasilitas yang tepat guna dan tepat sasaran.

Agen Fasilitas TPB dan KITE mempunyai tugas:

  1. melakukan penggalian potensi perusahaan industri yang belum menggunakan fasilitas kepabeanan;
  2. melakukan asistensi dan edukasi kepada perusahaan pengguna fasilitas kepabeanan; dan
  3. melakukan kegiatan monitoring dan evaluasi kepada perusahaan pengguna fasilitas kepabeanan.

Dalam melaksanakan tugasnya, agen fasilitas dapat dibantu oleh pegawai pada kantor masing-masing dengan mempertimbangkan beban kerja dan sumber daya manusia yang tersedia. Para agen fasilitas ini juga dilengkapi dengan sarana dan prasarana yang disediakan oleh Kantor Wilayah, KPU atau KPPBC.

Agen Fasilitas dapat menggunakan aplikasi yang disediakan oleh DJBC dalam rangka efektifitas dan akurasi data pada proses kompilasi dan analisis data. Data dan informasi yang dikelola oleh Agen Fasilitas ditatausahakan dalam bentuk elektronik. Semua data dan informasi yang diperoleh dari pengguna fasilitas kepabeanan merupakan rahasia jabatan.


KEGIATAN AGEN FASILITAS

Dalam melaksanakan tugas penggalian potensi perusahaan industri, agen Fasilitas TPB dan KITE melakukan kegiatan sebagai berikut:

  1. mengumpulkan dan menatausahakan bahan dan data yang diperlukan untuk melakukan penetapan sasaran perusahaan-perusahaan yang berpotensi menggunakan fasilitas kepabeanan;
  2. menganalisa bahan dan data untuk melakukan penetapan sasaran terhadap perusahaan yang berpotensi menggunakan fasilitas kepabeanan;
  3. melakukan penetapan sasaran terhadap perusahaan yang berpotensi menggunakan fasilitas sesuai hasil analisa bahan dan data yang telah dikumpulkan; dan
  4. melakukan promosi, pemberian konsultasi dan bimbingan pelaksanaan proses untuk memperoleh fasilitas kepabeanan.

Baca Selengkapnya

Pengecualian NPPBKC

Pengecualian NPPBKC

Tidak semua pengusaha barang kena cukai wajib memiliki Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai (NPPBKC). Pengecualian kewajiban memiliki NPPBKC diberikan kepada pengusaha barang kena cukai dalam hal dan kondisi tertentu. Secara lengkap, kewajiban memiliki NPPBKC dikecualikan terhadap:

  1. Tembakau Iris Tradisional
  2. MMEA Tradisional
  3. EA Tradisonal
  4. Importir BKC Pembebasan
  5. Tempat Penjualan Eceran EA dan MMEA

Tembakau Iris Tradisional

Orang yang membuat tembakau iris yang dibuat dari tembakau hasil tanaman di Indonesia yang tidak dikemas untuk penjualan eceran, atau dikemas untuk penjualan eceran dengan bahan pengemas tradisional yang lazim dipergunakan, dikecualikan dari kewajiban memiliki NPPBKC. Pengecualian ini berlaku dengan syarat:

  1. dalam pembuatannya tidak dicampur atau ditambah dengan tembakau yang berasal dari luar negeri;
  2. dalam pembuatannya tidak dicampur atau ditambah bahan lain yang lazim dipergunakan dalam pembuatan hasil tembakau; atau
  3. pada pengemas atau tembakau irisnya tidak dibubuhi, dilekati atau dicantumkan cap, merek dagang, etiket, atau yang sejenis dengan itu.

MMEA Tradisional

Orang yang membuat minuman mengandung etil alkohol yang diperoleh dari hasil peragian atau penyulingan juga dikecualikan dari kewajiban memiliki NPPBKC. Ketentuan ini berlaku dengan syarat:

  1. dibuat oleh rakyat di Indonesia;
  2. pembuatannya dilakukan secara sederhana, dengan menggunakan peralatan sederhana yang lazim digunakan oleh rakyat Indonesia;
  3. produksinya tidak melebihi 25 (dua puluh lima) liter per hari;
  4. semata-mata untuk mata pencaharian; dan
  5. tidak dikemas dalam kemasan untuk penjualan eceran.

Baca Selengkapnya

Barang Kena Cukai (BKC)

Barang Kena Cukai

Barang Kena Cukai (BKC) terdiri dari:

  1. Etil Alkohol atau Etanol;
  2. Minuman Mengandung Etil Alkohol; dan
  3. Hasil Tembakau

Cukai adalah adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang yang mempunyai sifat atau karakteristik yang ditetapkan dalam undang-undang cukai. Undang-undang yang dimaksud adalah undang-undang nomor 11 tahun 1995 yang sudah diubah dengan undang-undang nomor 39 tahun 2007. Karakteristik yang dimaksud dalam undang-undang cukai antara lain adalah:

  1. konsumsinya perlu dikendalikan;
  2. peredarannya perlu diawasi;
  3. pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup; atau
  4. pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan.

Pengusaha barang kena cukai, atau biasa disebut reksan cukai, diawasi oleh pemerintah. Pengawasan dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC).


Etil Alkohol atau Etanol

Etil Alkohol, atau biasa disebut juga Etanol, Alkohol Murni, Alkohol Absolut atau Alkohol (saja), adalah cairan yang mudah menguap, mudah terbakar, tidak berwarna, dengan rumus kimia C2H5OH. Etil alkohol atau Etanol biasa dihasilkan dengan cara fermentasi gula yang dikemudian didestilasi. Pemurnian etanol yang mengandung air dengan cara penyulingan biasa hanya mampu menghasilkan etanol dengan kemurnian 96%.

Etil Alkohol biasa digunakan sebagai bahan dalam pembuatan minuman beralkohol. Etil alkohol juga biasa digunakan sebagai spriritus bakar, bahan baku obat-obatan, bahan pencampur cat dan cairan disinfectant.

Etil Alkohol dikenai cukai dengan tarif Rp. 20.000 per liter. Pelunasan cukai atas Etil Alkohol dilakukan dengan cara pembayaran, tidak dengan pelekatan pita cukai sebagaimana barang kena cukai lainnya.

Etil alkohol yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan BKC lainnya tidak dipungut cukai. Sedang yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan barang hasil akhir yang bukan Barang Kena Cukai dapat dimintakan pembebasan cukai. Baca Selengkapnya

Laporan Hasil Audit Bea Cukai

Laporan Hasil Audit

Hasil akhir dari pelaksanaan audit yang dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) adalah diterbitkannya Laporan Hasil Audit (LHA). Secara lengkap, daftar isi LHA adalah sebagai berikut:


Sampul (Cover) LHA
Daftar Isi LHA
Susunan Tim Audit
Bab I: Uraian Hasil Audit

    1. Dasar Hukum
    2. Tujuan Audit
    3. Sifat dan Luas Audit
    4. Prosedur Audit
    5. Hasil Audit

Bab II: Profil Auditee

    1. Data Umum
    2. Data Perijinan
    3. Data Fasilitas Kepabeanan dan Cukai
    4. Penanggung Jawab Perusahaan
    5. Penandatangan Dokumen Kepabeanan dan Cukai
    6. Riwayat Audit
    7. Data Keuangan Terakhir
    8. Data Barang Impor

Bab III: Kesimpulan dan Rekomendasi

    1. Kesimpulan
    2. Rekomendasi

LHA disampaikan secara hardcopy kepada Auditee. Dalam hal tim audit menemukan adanya kekurangan pembayaran bea masuk, cukai atau pajak dalam rangka impor, penyampaian hardcopy LHA disertai dengan Kertas Kerja Audit (KKA).

Dalam hal jenis audit yang dilakukan adalah audit umum atau audit khusus, LHA disusun berdasarkan Berita Acara Penghentian Audit (BAPA) atau Berita Acara Hasil Audit (BAHA). BAHA dibuat jika proses audit dapat diselesaikan dengan sempurna, sedang BAPA dibuat jika proses audit mengalami kendala dan program audit tidak dapat dilaksanakan dengan sempurna. Dalam hal audit yang dilakukan adalah audit investigasi, maka LHA disusun berdasarkan KKA.

LHA mempunyai fungsi sebagai dasar:

  1. penetapan Direktur Jenderal Bea dan Cukai;
  2. penetapan Pejabat Bea dan Cukai;
  3. penerbitan surat tindak lanjut; dan/atau
  4. penerbitan surat tindak lanjut hasil audit cukai.

Baca Selengkapnya

Tim Audit Bea Cukai

Tim Audit Bea dan Cukai

Tim audit bea dan cukai terdiri dari:

  1. Pengawas Mutu Audit (PMA);
  2. Pengendali Teknis Audit (PTA);
  3. Ketua Tim Audit; dan
  4. Auditor.

Susunan ini adalah susunan sesuai jabatan dan kepangkatan. Makin tinggi posisinya makin tinggi pula jabatannya. Tim Audit bea dan cukai idealnya berjumlah 5 (lima) orang. Namun, jumlah ini tidak dapat dijadikan patokan. Besaran data audit dan kompleksitas program audit akan menentukan jumlah auditor yang diturunkan.

Susunan tim audit dapat ditambah seorang atau lebih petugas bea cukai pelaksana. Anggota pelaksana ini belum mendapatkan sertifikat sebagai auditor dan tidak selalu ada di tim audit. Anggota pelaksana biasa diturunkan dalam rangka pemantapan guna proses regenerasi.

Susunan tim audit juga dapat ditambah seorang atau pejabat dari instansi lain di luar dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC). Pejabat instansi lain ini dapat ditempatkan pada posisi sebagai Auditor, Ketua Tim, PTA maupun PMA. Dalam hal mereka belum mempunyai sertifikasi yang dibutuhkan, Direktur Audit dapat memberikannya selama yang bersangkutan dianggap mampu.

Jabatan dalam tim audit harus didukung dengan sertifikasi untuk masing-masing jabatan. Sertifikat sebagai auditor, ketua tim, PTA dan PMA diterbitkan oleh Direktur Audit. Sertifikat diterbitkan jika seseorang dianggap mampu dan telah memenuhi persyaratan untuk masing-masing jabatan.


1. Pengawas Mutu Audit (PMA)

Pengawas Mutu Audit (PMA) adalah pejabat tertinggi dalam susunan tim audit. Dalam satu tim audit hanya ada satu PMA. PMA dapat merangkap jabatan. Seorang PMA dapat menerima lebih dari satu surat tugas dalam satu waktu.

PMA merupakan pejabat setingkat Eselon 3. Untuk menjadi seorang PMA, pejabat bea cukai terlebih dahulu harus memiliki sertifikat sebagai Pengendali Teknis Audit (PTA) dan memenuhi persyaratan sebagai berikut:

  1. telah menyelesaikan paling sedikit 150 (seratus lima puluh) kali penugasan audit;
  2. telah mencapai 6 (enam) tahun masa penugasan audit sebagai PTA; atau
  3. memiliki pangkat minimal Pembina/IV.a yang telah mencapai 2 (dua) tahun masa penugasan audit atau telah menyelesaikan paling sedikit 20 (dua puluh) kali penugasan audit.

Baca Selengkapnya